Puncak volatilitas inflasi Indonesia berhubungan dengan kebijakan
penyesuaian harga oleh pemerintah. Harga-harga energi (bahan bakar minyak dan
listrik) ditetapkan oleh pemerintah dan oleh karena itu tidak mengikut kondisi
pasar, yang berarti defisit yang muncul harus diserap oleh subsidi. Hal ini
mengakibatkan tekanan besar pada defisit anggaran tahunan pemerintah dan juga
membatasi pengeluaran publik dalam hal-hal produktif jangka panjang, seperti infrastruktur dan pengeluaran untuk soal
sosial. Selain itu, mengatur ulang subsidi energi (menaikkan harga energi)
dapat mengakibatkan timbulnya risiko politik karena keresahan sosial akan
timbul bilamana ada tekanan inflasi. Salah satu ciri khas Indonesia adalah
bahwa sebagian besar penduduknya berada sedikit di atas garis kemiskinan, yang
berarti bilamana kejutan inflasi yang relatif kecil terjadi, mereka akan jatuh
ke bawah garis kemiskinan itu. Waktu pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan untuk mengurangi subsidi BBM secara
besar-besaran di akhir tahun 2005, dikarenakan harga minyak dunia yang naik
cukup tinggi, tingkat inflasi Indonesia langsung berubah menjadi dua digit
antara 14 sampai 19 persen (year on year) sampai bulan oktober 2006.
Selanjutnya, inflasi inti di Indonesia - yang tidak termasuk barang-barang yang
rentan terhadap volatilitas harga sementara - juga kena volatilitas karena efek
samping penyesuain harga energi pada ekenomi (misalnya kenaikan harga
transportasi).
Pengurangan subsidi energi tetap menjadi prioritas utama pemerintah.
Awal tahun 2012, pemerintah mengusulkan kenaikan harga BBM, tetapi keresahan
sosial dan oposisi politik di parlemen menolak rencana dadakan ini. Akhirnya
pada bulan Juni 2013, harga premium naik 44 persen menjadi Rp 6,500 dan solar
naik sebanyak 22 persen menjadi Rp 5,500 per liter. Meskipun terjadi kenaikan
harga pada tahun 2013, sebagian besar harga BBM Indonesia masih disubsidi dan
oleh karena itu berbagai organisasi internasional (seperti Bank Dunia dan Dana
Moneter Internasional/IMF) serta institusi-institusi dalam negeri (seperti
Kamar Dagang Indonesia/Kadin) menyokong sepenuhnya pengurangan subsidi secara
lebih lanjut. Pada tahun 2013 dan 2014, pemerintah juga telah mengurangi
subsidi listrik - baik untuk rumah tangga (kecuali segmen masyarakat miskin)
maupun industri.
Outlook inflasi Indonesia sangat dipengaruhi oleh keputusan pengurangan
tidaknya subsidi tersebut. Bank Dunia memperkirakan kenaikan harga BBM sebanyak
Rp 2,000 dapat menambahkan sekitar tiga poin persentase pada tingkat inflasi
umum dan dapat menambahkan sekitar satu poin persentase pada inflasi inti.
Kenaikan harga listrik diperkirakan akan menyebabkan efek yang lebih kecil
(< 1 persen) terhadap laju inflasi. Sebagai gambaran, Bank Indonesia
menargetkan tingkat inflasi sebanyak 4.5 persen pada tahun 2013. Namun setelah
kenaikan harga BBM dan listrik, inflasi naik menjadi 8.37 persen di akhir tahun
(yoy)
http://www.indonesia-investments.com/id/keuangan/angka-ekonomi-makro/inflasi-di-indonesia/item254